Eks Kadis Jadi Tersangka Kasus Korupsi di Lampung, Kerugian Negara Capai Rp1,37 Miliar
- Foto Dokumentasi Riduan
Lampung – Mantan Kepala Dinas (Kadis) Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Pesisir Barat, Jalaludin terjerat dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi.
Adapun kasus korupsinya yakni melibatkan proyek pembukaan badan jalan di Pekon Bambang-Batu Bulan, Kecamatan Lemong, Kabupaten Pesisir Barat.
Proyek senilai Rp4,41 miliar yang dibiayai oleh Dana Insentif Daerah (DID) tahun anggaran 2022 ini diperkirakan merugikan negara hingga Rp1,37 miliar.
Konferensi pers di Kejati Lampung
- Foto Dokumentasi Riduan
Aspidsus Kejati Lampung, Armen Wijaya menjelaskan Kronologi Kasus yakni Dari Lelang hingga Pembayaran Proyek.
Kasus ini bermula pada tahun 2022, ketika proyek pembukaan jalan yang diharapkan dapat meningkatkan infrastruktur di wilayah tersebut mulai dilaksanakan.
Pada awalnya, proyek ini dimenangkan oleh PT. Citra Primadona Perkasa, yang diumumkan sebagai pemenang tender oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada 10 November 2022.
Namun, keputusan ini digugat oleh CV. Maju Jaya Perkasa melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandar Lampung.
"Pada 6 April 2023, PTUN memutuskan untuk membatalkan keputusan penunjukan pemenang lelang, namun proyek tetap dilanjutkan dan kontrak tetap ditandatangani antara pihak Pemkab Pesisir Barat dan PT. Citra Primadona Perkasa," kata Armen saat konferensi pers di Kejati Lampung, Jumat (6/12/2024) malam.
Proyek tersebut akhirnya selesai pada akhir tahun 2022, meskipun diduga tidak sesuai dengan spesifikasi yang tercantum dalam kontrak.
Proyek yang sudah dibayar 100% sebesar Rp4,41 miliar tersebut justru ditemukan tidak memenuhi standar yang ditentukan. Bahkan, hasil pekerjaan yang diserahterimakan kepada pemerintah daerah tidak sesuai dengan harapan.
Peran Kepala Dinas PUPR dalam Kasus Korupsi Jalaludin selaku Kepala Dinas PUPR Kabupaten Pesisir Barat, menjadi salah satu tersangka utama dalam kasus ini.
Ia diduga bertanggung jawab atas penandatanganan kontrak pekerjaan pada saat keputusan PTUN membatalkan penunjukan pemenang lelang, yang seharusnya menangguhkan proses tersebut.
"Meski demikian, kontrak tetap ditandatangani oleh Jalaludin dan pihak terkait lainnya, yang menyebabkan proses pelaksanaan proyek dilanjutkan meskipun ada keputusan hukum yang membatalkan keputusan sebelumnya," paparnya.
Selain itu, jalannya proyek juga dikelola dengan banyak penyimpangan, termasuk pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi kontrak.
Pelaksanaan pekerjaan ini juga diwarnai dengan fakta bahwa ahli K3 Konstruksi yang seharusnya terlibat dalam pengawasan proyek tidak pernah bekerja di PT. Citra Primadona Perkasa dan tidak pernah membuat atau menandatangani dokumen yang terkait dengan pelaksanaan pekerjaan tersebut.
Namun, pembayaran proyek tetap dilaksanakan sepenuhnya, meskipun pekerjaan yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Penyidik menemukan sejumlah modus yang digunakan dalam pelaksanaan proyek ini, di antaranya penetapan pemenang lelang yang dilakukan pada masa sanggah banding, meskipun keputusan PTUN akhirnya membatalkan keputusan tersebut.
"Selain itu, meskipun pekerjaan tidak sesuai dengan spesifikasi, pembayaran proyek tetap dilanjutkan hingga 100%, yang mengindikasikan adanya penyimpangan dalam proses administrasi dan pelaksanaan proyek," jelas Aspidsus.
Lebih lanjut, berdasarkan audit yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik Drs. Chaeroni dan Rekan, ditemukan kerugian negara yang mencapai Rp1.375.356.769 akibat penyimpangan dalam proyek tersebut.
"Kerugian ini berasal dari pekerjaan yang tidak sesuai dengan kontrak serta pembayaran yang tidak berlandaskan pada kualitas pekerjaan yang seharusnya," tambahnya.
Selain Ir. Jalaludin, dua tersangka lainnya yang terlibat dalam kasus ini adalah Abdul Wahid, ST selaku Direktur PT. Citra Primadona Perkasa (pelaksana proyek), dan Bayu Dian Saputra selaku Direktur CV. Garudayana Consultant (konsultan pengawas).
Ketiganya dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kejaksaan Tinggi Lampung telah menahan dua tersangka, sementara satu tersangka lainnya sudah lebih dahulu ditahan dalam perkara berbeda.
Armen Wijaya, Kepala Aspidsus Kejati Lampung, menyatakan bahwa pengembangan kasus ini masih terus dilakukan, dengan kemungkinan adanya tersangka tambahan yang terlibat.
“Kami sedang menelusuri lebih lanjut mengenai motif penggunaan uang hasil korupsi ini,” ujar Armen.
"Sejauh ini, lebih dari 20 saksi telah diperiksa, termasuk pihak-pihak terkait dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Pesisir Barat," pungkasnya. (*)