Harga Singkong Adil untuk Petani Lampung Segera Terwujud, Rumusan Nasional Menuju Perpres

Ilustrasi Petani Singkong
Sumber :
  • Foto Dokumentasi Istimewa

Bandar Lampung, Lampung – Harapan petani singkong untuk mendapatkan harga jual yang adil dan berpihak semakin mendekati kenyataan. Ketua Panitia Khusus (Pansus) Tata Niaga Singkong DPRD Lampung, Mikdar Ilyas, mengungkapkan bahwa rumusan harga singkong nasional saat ini tengah difinalisasi dan berpotensi ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres).

Dukung Ketahanan Pangan, Polsek Penengahan dan Uspika Ketapang Tanam Jagung di Lahan Perhutanan Sosial

 

Pernyataan itu disampaikan Mikdar usai mengikuti rapat terbatas lintas kementerian di Jakarta pada Selasa (29/4). 

Pelanggaran Harga dan Rafaksi Singkong Masih Marak, Petani Lampung Merugi Hingga Ratusan Ribu per Ton

 

Rapat yang berlangsung sekitar tiga jam tersebut dihadiri oleh perwakilan dari Kementerian Koordinator Pangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Bappenas, dan Badan Pangan Nasional.

Pelaku Pembunuhan Gadis Petani di Natar Lampung Ternyata Buronan

 

"Alhamdulillah, sudah ada rumusan yang bisa diterima dua belah pihak, baik asosiasi petani maupun pengusaha. Tinggal difinalisasi di tingkat menteri," ujar Mikdar.

 

Dalam rapat tersebut, dibahas usulan harga dasar singkong nasional. Dua angka yang mencuat adalah pihak perusahaan mengusulkan harga Rp1.350 per kilogram dengan kadar aci 24 persen dan rafaksi 15 persen.

 

Sementara petani mengusulkan harga yang sama, Rp1.350 per kilogram, namun dengan kadar aci 20 persen dan rafaksi maksimal 15 persen.

 

"Selisih kadar aci ini berdampak besar terhadap pendapatan petani. Karena itu, kita minta standar nasional yang tegas dan adil," tegas Mikdar.

 

Selain harga, rapat juga menyinggung pentingnya penerapan larangan terbatas (lar-tas) terhadap impor singkong. 

 

Mikdar menekankan bahwa langkah ini penting untuk menjaga stabilitas harga dalam negeri dan melindungi petani dari praktik impor murah serta manipulasi kadar aci.

 

Ia juga menegaskan bahwa pengawasan terhadap kadar aci dan sistem rafaksi harus berada di bawah kewenangan Kementerian Perdagangan agar memiliki landasan hukum yang kuat. "Kalau tidak diawasi, bisa disalahgunakan," ujarnya.

 

Mikdar menyebut bahwa komunikasi intens juga terus dilakukan dengan Asosiasi Tepung Tapioka Lokal dan PPPUKI (Persatuan Petani Ubi Kayu Indonesia). 

 

Menurutnya, seluruh pihak telah sepakat pada poin-poin teknis yang dibahas dalam rapat tersebut.

 

"Harapan mereka sudah kami sampaikan ke Deputi Menko Pangan dan Dirjen Kementerian Pertanian. Ini akan menjadi dasar pembahasan lanjutan di tingkat menteri," jelasnya.

 

Hasil dari rapat tingkat menteri tersebut diharapkan akan ditindaklanjuti oleh Presiden melalui regulasi resmi, baik dalam bentuk Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, maupun Peraturan Presiden (Perpres) yang akan mengatur harga, kadar aci, dan rafaksi secara nasional.

 

"Ini perjuangan panjang. Tapi kita bersyukur sekarang sudah mengerucut. Semoga dalam waktu dekat ada keputusan presiden yang benar-benar berpihak pada petani," tutup Mikdar.(*)