Eddy Aqdhiwijaya: Filantropis Milenial yang Mendorong Generasi Muda untuk Cinta Membaca dan Berbagi

Eddy Aqdhiwijaya berkacamata
Sumber :
  • Foto Dokumentasi Istimewa

Lampung – Dunia filantropi kembali menjadi perbincangan publik, dan nama Eddy Aqdhiwijaya, ketua Yayasan Islam Cinta Indonesia atau Gerakan Islam Cinta (GIC), menjadi sorotan. 

IPM Lampung dan Kanwil Kemenag Memperkuat Moderasi Beragama di Kalangan Pelajar

 

Ia dikenal karena berhasil menggerakkan kalangan milenial dan Gen Z untuk terlibat dalam kegiatan filantropi.

Bawaslu Dan Gen - Z Deklarasikan Tolak Politik Uang

 

Eddy Aqdhiwijaya lahir di Tangerang pada 19 Maret 1990. Kehadirannya dalam dunia filantropi bersamaan dengan masa krisis COVID-19, di mana ia melibatkan banyak milenial untuk membantu masyarakat yang terdampak. 

Upacara Kemerdekaan Republik Indonesia ke-79 Digelar Pakai Bahasa Lampung

 

Komitmennya untuk terus menyuarakan pentingnya partisipasi kalangan muda dalam filantropi menunjukkan dedikasinya yang luar biasa.

 

Menurut Eddy, masih banyak generasi muda yang belum mengenal dunia filantropi dan menganggapnya sebagai urusan para "sultan". 

 

Ia percaya bahwa filantropi harus menjadi perhatian semua orang, termasuk milenial dan Gen Z. Bantuan yang diberikan tidak harus berupa dana, tetapi juga bisa berupa waktu, tenaga, dan keterampilan.

 

Di tengah kesibukannya, Eddy selalu menyempatkan diri untuk membaca buku. Ia merekomendasikan buku “Twelve Steps To A Compassionate Life” karya Karen Armstrong sebagai bacaan penting bagi milenial dan Gen Z untuk memahami filantropi.

 

Melalui Yayasan Islam Cinta Indonesia, Eddy aktif menggerakkan banyak milenial untuk terlibat dalam aktivitas sosial kemanusiaan. 

 

Citra filantropis yang sering diasosiasikan dengan tokoh-tokoh konglomerat membuat banyak orang keliru dalam memaknai filantropi, seolah-olah hanya dapat dilakukan oleh orang-orang dengan sumber daya finansial besar. Padahal, tindakan kedermawanan itu bisa berupa sumbangan waktu, tenaga, dan keterampilan.

 

Dalam menghadapi krisis pandemi, Eddy terlibat aktif dalam gerakan #SalingJaga menghadapi COVID-19, mengkoordinir gerakan ini di sejumlah daerah bersama para milenial dari GIC. Ia juga menyuarakan #WeStandforPalestinian dan #IslamCintaPalestina, serta mengajak masyarakat untuk menyebarkan pesan cinta dan keadilan.

 

Eddy aktif mempromosikan nilai-nilai literasi, cinta, damai, dan welas asih dalam agama Islam. Ia memimpin redaksi penerbitan buku-buku populer di GIC, melibatkan para penulis milenial. Buku perdana yang dikoordinirnya adalah “Apalagi Islam itu Kalau Bukan Cinta?”, dan saat ini, GIC telah menerbitkan lebih dari 50 buku sejak tahun 2015.

 

Dalam postingan terbarunya di Instagram, Eddy mengungkapkan keresahannya terhadap rendahnya minat baca di Indonesia. Ia menyebutkan bahwa aktivitas membaca di Indonesia masih dianggap sebagai kegiatan sampingan dan belum menjadi prioritas dalam kehidupan sehari-hari. Eddy menekankan bahwa tingkat literasi berkorelasi dengan kualitas bangsa, dan budaya membaca harus ditingkatkan.

 

Eddy dan tim GIC juga aktif menyebarkan pengetahuan tentang agama moderat dan mendorong generasi muda untuk memiliki pemikiran kritis. Mereka berkeliling ke lebih dari 15 kota dengan dukungan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta dan UNDP Indonesia, mempromosikan inklusivitas dan toleransi di kalangan muda.

 

Dengan pendekatan yang kreatif dan preventif, Eddy berusaha mengembangkan ekosistem masjid yang ramah dan inklusif. Sejak 2021, ia menjalankan program #MasjidKitaMasjidRamah bersama Kementerian Agama, melatih ratusan Takmir Masjid dalam pelatihan Masjid Profesional, Moderat, dan Berdaya.

 

Eddy juga menyadari bahwa akses internet di Indonesia membuka banyak peluang, namun juga membawa tantangan baru, seperti meningkatnya ekstremisme. Untuk mengatasi hal ini, ia menyelenggarakan Akademi Digital untuk Da’i Muda (ADDeM) untuk membantu para da’i muda menguasai kemampuan teknis dalam dunia digital. (*)