Warga Kebingungan Setelah Digusur Pemprov Lampung, Kompensasi Dinilai Tak Manusiawi
- Foto Dokumentasi Riduan
Lampung – Sejumlah warga di Desa Sabah Balau, Kecamatan Tanjung Bintang, Lampung Selatan, kini menghadapi ketidakpastian setelah penggusuran paksa yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung.
Warga mengaku kebingungan mencari tempat tinggal baru, terutama karena kompensasi yang diberikan dinilai tidak layak.
Menurut keterangan warga, Pemprov Lampung hanya menawarkan ganti rugi sebesar Rp2,5 juta.
Besaran kompensasi ini dianggap tidak manusiawi dan jauh dari cukup untuk membangun kembali kehidupan mereka yang telah lama tinggal di lokasi tersebut.
"Kami sebagai rakyat ini bingung, karena tidak ada penggantian pasti dari pemerintah. Memang ada penawaran, tapi hanya sekitar Rp2,5 juta. Ini penghinaan bagi kami, seperti dianggap binatang," ujar Nur Alwi, salah satu warga terdampak, Selasa (12/2/2025).
Nur Alwi juga menyayangkan sikap pemerintah yang dinilai kurang mengedepankan musyawarah dengan warga sebelum melakukan penggusuran.
Ia mengaku telah membeli tanah tersebut dari pihak lain dan memiliki dokumen yang lengkap.
"Saya tidak tahu awal-awalnya tanah ini, karena saya juga beli dari orang dan ada surat-suratnya lengkap. Rumah ini bangunan pakai uang, bukan gratisan, jadi pemerintah tidak mengerti perasaan warga," tambahnya.
Bentrok Warga dan Aparat Saat Penggusuran
Penggusuran yang dilakukan Pemprov Lampung di Desa Sabah Balau serta di Kelurahan Sukarame Baru, Kecamatan Sukarame, Bandar Lampung, pada Rabu (12/2/2025), mendapat perlawanan dari warga. Setidaknya 42 kepala keluarga yang menempati lahan tersebut menolak digusur, hingga menyebabkan bentrokan dengan aparat.
Dari pantauan di lokasi, sejumlah warga sempat melakukan perlawanan terhadap tim gabungan yang terdiri dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Polda Lampung, dan Brimob. Beberapa warga bahkan mengalami histeria hingga ada yang pingsan akibat emosi dan tekanan yang mereka rasakan.
Dalam proses penggusuran ini, Pemprov Lampung menyiagakan empat unit alat berat, terdiri dari tiga excavator dan satu buldozer, untuk meratakan bangunan yang dianggap berdiri di atas lahan tanpa hak kepemilikan resmi. (*)