Kemenangan Kandidat Baru dan Kekalahan Incumbent di Pilkada Lampung Dipengaruhi Banyak Faktor

Pengamat Politik Universitas Muhammadiyah Lampung, Candrawansah
Sumber :
  • Istimewa

Bandar Lampung, Lampung – Pesta demokrasi pilkada serentak di Lampung pada 27 November 2024 membawa kejutan. Sejumlah petahana atau Incumbent yang mengikuti Pilkada Serentak 2024 mengalami kekalahan atau tumbang dengan lawannya.

Quick Count Pilkada Lampung Selatan: Egi-Syaiful Raih 79,25%, Tumbangkan Petahana Nanang Ermanto

 

Dari data sejumlah lembaga survei, beberapa petahana tumbang di pilkada serentak 2024 di Lampung. Termasuk pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung yang versi quick count, incumbent tertinggal jauh dari penantang. 

Kapolda Lampung Cek Pemungutan Suara di TPS 02 Pesawaran, Sampaikan Pesan Ini

 

Pengamat politik dan Akademisi Universitas Muhammadiyah Lampung (UML), Candrawansah, mengungkapkan bahwa fenomena Pilkada Provinsi Lampung yang diwarnai dengan banyaknya incumbent yang tumbang, versi lembaga survei, dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait.

Hasil Quick Count Pilgub Sulsel 2024: Andalan Hati Unggul Telak dengan 76,19 Persen

 

Menurut Candrawansah, salah satu alasan utama kekalahan incumbent adalah kinerja yang dianggap tidak memuaskan oleh masyarakat. 

 

"Jika masyarakat merasa bahwa kinerja kepala daerah selama menjabat tidak memenuhi harapan, hal ini dapat menjadi alasan utama kekalahan. Masalah seperti lambatnya pembangunan, kurangnya pelayanan publik, atau kegagalan dalam menyelesaikan isu-isu lokal sering kali menjadi pemicu ketidakpuasan masyarakat," terang Candra.

 

Lebih lanjut, Candrawansah menyebutkan faktor lain yang mempengaruhi, yakni munculnya kandidat alternatif yang dianggap lebih menarik oleh pemilih.

 

"Kandidat baru yang menawarkan visi, program, atau strategi yang lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat dapat mengalihkan dukungan pemilih. Hal ini sering terjadi jika kandidat baru dianggap lebih segar, inovatif, atau lebih mampu membawa perubahan," jelasnya.

 

Selain itu, kelemahan dalam strategi kampanye juga menjadi faktor penting yang mempengaruhi hasil Pilkada. 

 

Candrawansah menyoroti beberapa kesalahan dalam strategi kampanye, seperti kurang efektifnya komunikasi dengan masyarakat, penggunaan media sosial yang tidak maksimal (padahal Gen Z dan Milenial merupakan kelompok pemilih signifikan), serta lemahnya tim sukses. 

 

Semua faktor ini, menurutnya, dapat menyebabkan petahana kesulitan untuk bersaing dengan pesaing baru yang lebih unggul dalam hal strategi.

 

Fenomena anti-incumbent juga turut mewarnai Pilkada kali ini. Candrawansah menyatakan, masyarakat sering kali memiliki kecenderungan untuk mencari pemimpin baru sebagai bentuk protes terhadap situasi yang ada. 

 

"Meski tidak selalu terkait langsung dengan kinerja kepala daerah yang sedang menjabat, fenomena ini muncul sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap situasi yang ada," ujar Candrawansah.

 

Lebih lanjut, Candrawansah juga menyoroti faktor internal partai politik yang turut berkontribusi pada kekalahan incumbent. 

 

"Pecahnya dukungan internal partai dalam mengusung calon yang bersangkutan bisa sangat merugikan. Jika struktur partai tidak solid dan hanya mengandalkan dukungan dari partai tanpa sinergi yang kuat di tingkat internal, hal ini bisa mengurangi daya tarik calon tersebut," tambahnya.

 

Candrawansah menilai bahwa jika incumbent kalah dengan persentase yang sangat besar, hal ini menandakan ketidakpuasan yang mendalam dari masyarakat terhadap kepemimpinan yang ada. 

 

"Memang, jika kita pikirkan, sungguh miris apabila incumbent kalah dengan persentase yang jomplang. Ini menunjukkan bahwa masyarakat sangat tidak puas dengan kinerja kepemimpinan calon tersebut, apalagi jika kalah jauh dari penantang baru," tutupnya.

 

Dengan berbagai faktor yang mempengaruhi dinamika Pilkada, Candrawansah berharap proses demokrasi di Lampung dapat semakin matang dan berfokus pada peningkatan kualitas kepemimpinan yang lebih baik di masa depan.(*)