Dukung Al-Quds sebagai Tanah Air Sah Rakyat Palestina
- Istimewa
Bandar Lampung, Lampung – Isu relokasi warga Palestina ke negara lain, sebagaimana beberapa kali diwacanakan oleh pihak Amerika Serikat, merupakan gagasan yang keliru dan harus ditolak oleh masyarakat internasional.
Setelah sebelumnya mantan Presiden AS Donald Trump menyebut Indonesia sebagai salah satu opsi relokasi, kini muncul lagi wacana pemindahan warga Palestina ke Arab Saudi.
Wacana ini tidak hanya mengabaikan hak kebangsaan (muwathanah) rakyat Palestina, tetapi juga menegasikan eksistensi mereka sebagai pemilik sah tanah airnya sendiri.
Rakyat Palestina memiliki hak mutlak untuk tetap tinggal dan membangun kembali negeri mereka, khususnya wilayah Al-Quds (Yerusalem) yang selama puluhan tahun menjadi pusat konflik dan kehancuran akibat agresi Israel.
Dengan alasan apapun, termasuk mitigasi risiko dan pertimbangan keamanan, relokasi bukanlah solusi. Al-Quds adalah tumpah darah rakyat Palestina, bukan sekadar lokasi geografis, melainkan pusat sejarah, spiritualitas, dan identitas kebangsaan.
Jika komunitas global ingin berkontribusi dalam membangun masa depan Palestina, maka bantuan harus difokuskan pada rekonstruksi wilayah yang telah hancur, bukan pada pembuatan “tanah air baru” di tempat lain.
Relokasi hanya akan memperpanjang penderitaan dan menunda keadilan sejati bagi rakyat Palestina.
Pemulihan Palestina: Antara Harapan dan Kenyataan
Data terbaru menunjukkan bahwa setelah gencatan senjata tercapai, angka kemiskinan di Palestina melonjak menjadi 74,3 persen, dengan lebih dari 4,1 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan.
Dari jumlah tersebut, sekitar 2,61 juta orang jatuh miskin dalam 12 bulan terakhir akibat konflik berkepanjangan. Mereka kehilangan tempat tinggal, pekerjaan, serta akses terhadap layanan dasar.
Sebagai respons awal, PBB telah menyusun skenario pemulihan 2025–2034 yang mencakup pengiriman 53.000 truk bantuan logistik berisi makanan, obat-obatan, dan tenda darurat.
Namun, kebutuhan Palestina jauh lebih besar. Konflik telah membuat kondisi negara itu mundur lebih dari 70 tahun ke belakang.
Diperlukan waktu 10 hingga 20 tahun dan dukungan tahunan sebesar $290 juta untuk membangun kembali negeri tersebut.
Namun sayangnya, alih-alih memperkuat dukungan bagi rekonstruksi Palestina, pernyataan relokasi kembali dimunculkan sebagai “alternatif”. Hal ini menambah ketidakpastian nasib jutaan rakyat Palestina.
Donasi dan Dukungan Konkret
Menolak wacana relokasi tidak cukup hanya dengan suara. Dibutuhkan tindakan nyata, termasuk dukungan finansial dan kemanusiaan.
Indonesia dan Arab Saudi disebut sebagai negara yang paling banyak memberikan bantuan kepada Palestina.
Mungkin karena alasan inilah keduanya justru dijadikan opsi relokasi. Namun justru sebaliknya, sebagai negara yang telah berdiri teguh membela hak rakyat Palestina, dukungan Indonesia harus diperkuat, bukan dialihkan.
Selain donasi, upaya diplomatik, pendidikan perdamaian, dan penegakan hukum internasional yang adil juga perlu ditingkatkan.
Masyarakat internasional harus mendorong rekonsiliasi internal Palestina serta memastikan bahwa rakyatnya hidup dalam perdamaian, bermartabat, dan memperoleh manfaat dari pembangunan yang berkelanjutan.
Menjaga Hak atas Tanah Air
Dukungan kita terhadap Palestina tidak semata bersifat emosional, melainkan merupakan bagian dari prinsip universal hak atas tanah air, kemerdekaan, dan martabat manusia.
Seperti halnya bangsa Indonesia memperjuangkan setiap jengkal tanah airnya, rakyat Palestina pun memiliki hak yang sama untuk mempertahankan dan membangun negerinya sendiri.
Al-Quds bukan sekadar simbol religius, tetapi simbol eksistensi dan identitas Palestina. Kita semua memiliki tanggung jawab moral untuk mendukung perjuangan ini, bukan dengan menggusur mereka dari sejarahnya, melainkan membantu mereka kembali menulis babak baru yang penuh harapan di atas tanah yang mereka cintai. (*)