Pilkada Lampung 2024, Ketika Kotak Kosong Menjadi Pilihan Tidak Terelakkan

Dr. Fathul Mu’in, Pengamat Politik dari UIN Raden Intan
Sumber :
  • Foto Dokumentasi Istimewa

LampungPilkada serentak di Provinsi Lampung diprediksi akan menghadirkan fenomena unik, yaitu kandidat melawan "Kotak Kosong." 

Akankah Arinal Djunaidi Kembali Usung Slogan 'Lampung Berjaya' di Pilgub 2024?

 

Fenomena ini terjadi karena adanya dinasti politik lokal serta minimnya ideologi partai politik yang kuat.

Ini Alasan Lima Partai Non Parlemen Memilih Arinal-Sutono di Pilgub Lampung 2024

 

Dr. Fathul Mu’in, Pengamat Politik dari UIN Raden Intan Lampung, menjelaskan bahwa situasi ini bisa muncul karena popularitas petahana yang sangat dominan atau karena adanya aktor yang membeli tiket partai politik secara eksklusif, sehingga menghambat calon lain untuk bersaing. 

PAN Mesuji All Out Menangkan RMD-Jihan dan Suprapto-Fuad

 

"Fenomena kotak kosong bukan hanya karena popularitas petahana, tetapi juga disebabkan oleh egoisme partai politik yang lebih fokus pada kemenangan ketimbang memperjuangkan ideologi atau program yang pro-rakyat," ungkapnya pada Selasa (30/7/2024). 

 

Fathul menambahkan, keberadaan kotak kosong dalam Pilkada merupakan tanda kemunduran demokrasi. 

 

Masyarakat, sebagai pemilih, dirugikan karena kurangnya pilihan alternatif untuk memilih pemimpin daerah.

 

Situasi ini juga bisa mengecewakan harapan publik yang menginginkan adanya kompetisi politik yang sehat, setidaknya dengan dua pasangan calon. 

 

"Partisipasi masyarakat dalam pemilihan dapat menurun jika mereka merasa tidak ada pilihan yang layak," katanya.

 

Sebagai Sekretaris Program Studi Hukum Tata Negara, Fathul menyoroti bahwa masyarakat cenderung melihat kotak kosong sebagai bukan pilihan sebenarnya, melainkan sebagai situasi yang dipaksakan. 

 

Akibatnya, banyak masyarakat yang mungkin enggan menggunakan hak pilih mereka. 

 

"Dengan lebih banyak calon yang muncul, akan lebih banyak pula pilihan bagi masyarakat untuk mencari pemimpin yang ideal," jelasnya.

 

Ia juga mengkritik kecenderungan pemilih yang memilih berdasarkan figuritas, yang seringkali dimanfaatkan oleh calon dengan dukungan finansial kuat untuk maju dalam Pilkada dan menguasai partai politik. (*)