Mahepel Unila Bantah Keras Tuduhan Kekerasan dalam Diklat yang Dikaitkan dengan Kematian Pratama

Ketua Mahepel Unila (baju hitam) bersama Kuasa hukumnya.
Sumber :
  • Lampung.viva

Bandar Lampung, Lampung – Polemik seputar kematian mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Lampung (Unila), Pratama Wijaya Kusuma (PWK), yang dikaitkan dengan kegiatan Pendidikan dan Latihan (Diklat) organisasi Mahasiswa Ekonomi Pecinta Lingkungan (Mahepel) FEB Unila, terus bergulir. 

Nenek 80 Tahun Tewas di Lampung Timur, Diduga Dianiaya Anak Angkat Sendiri

 

Menanggapi berbagai tudingan yang beredar luas, pihak Mahepel akhirnya angkat bicara melalui kuasa hukumnya.

Dua Bulan Berlalu, Misteri Pembunuhan Kakak Beradik di Pesisir Barat Belum Terungkap

 

Ketua Umum Mahepel Unila, Ahmad Fadilah, melalui kuasa hukumnya, Candra Bangkit, menegaskan bahwa Mahepel Unila membantah keras tuduhan keterlibatan kekerasan terorganisir dalam kegiatan Diklat angkatan XXVI yang mereka selenggarakan pada Oktober hingga November 2024 lalu.

Kematian Mahasiswa Unila Pratama Wijaya: Polda Lampung Naikkan Status Kasus ke Penyidikan

 

"Kami menyampaikan duka cita yang mendalam atas wafatnya almarhum Pratama Wijaya Kusuma. Namun perlu kami luruskan, kegiatan Diklat telah mengikuti SOP organisasi, dengan pengawasan dari pihak kampus, aparat desa, dan fasilitas medis," kata Candra pada Selasa (3/6/2025).

 

Klarifikasi Isu Kekerasan Fisik, Spirtus, hingga Gendang Telinga

Candra Bangkit juga mengklarifikasi sejumlah isu yang beredar. Mengenai dugaan kekerasan fisik, insiden minum spirtus, hingga kabar salah satu peserta mengalami pecah gendang telinga, Mahepel memberikan bantahan.

 

"Kami tidak pernah ada sistem kekerasan. Lecet atau luka yang muncul bukan karena pemukulan, tapi akibat aktivitas alam seperti merayap dan membangun bivak," tegasnya.

 

Terkait insiden spirtus, Mahepel menyatakan kejadian tersebut merupakan murni kelalaian individu, tanpa ada unsur paksaan atau hukuman.

 

Isu soal pecahnya gendang telinga pada peserta bernama M. Arnando Al Faris juga ditepis. Berdasarkan hasil diagnosis medis, peserta tersebut mengalami Otitis Media Akut (OMA). 

 

Mahepel, menurut Candra, bahkan telah membiayai pengobatan dan menjalin komunikasi baik dengan keluarga korban. "Kami menunjukkan itikad baik. Tidak pernah lepas tangan,” tambahnya.

 

Sementara itu, kabar soal peserta dipaksa long march hingga kehausan juga dibantah. Menurut Mahepel, kegiatan dilakukan dengan memperhatikan waktu istirahat yang cukup dan logistik yang memadai.

 

Bantahan Penyebab Kematian Pratama dan Dukungan Investigasi

Isu paling krusial menyangkut wafatnya almarhum Pratama. Candra menyebut ada kekeliruan serius dalam pemberitaan mengenai waktu dan penyebab kematian.

 

"Diklat lapangan dilakukan 14–17 November 2024. Almarhum wafat lima bulan setelahnya, yakni 28 April 2025, akibat tumor otak, bukan karena diklat. Bahkan setelah kegiatan, almarhum masih aktif ke sekretariat dan terlihat di kampus hingga Februari 2025," tegasnya.

 

Meskipun membantah adanya kekerasan, Mahepel tidak menampik ada kekurangan dalam pelaksanaan diklat, terutama soal tidak disertakannya tim medis resmi. 

 

Atas hal ini, pihak organisasi telah dijatuhi sanksi sosial oleh dekanat dan menyatakan menerima evaluasi tersebut sebagai bagian dari perbaikan.

 

Mahepel juga menegaskan dukungannya terhadap investigasi internal yang dilakukan Universitas Lampung. Namun di sisi lain, mereka mewanti-wanti akan menempuh jalur hukum terhadap pihak-pihak yang menyebarkan informasi sepihak dan belum terverifikasi.

 

"Kami mendukung proses investigasi, namun tidak akan tinggal diam terhadap upaya penggiringan opini dan penyebaran berita bohong. Kami siap ambil langkah hukum," tegas Candra.

 

Sementara itu, Ketua Mahepel, Ahmad Fadilah tak menampik jika selama Diksar memang ada kegiatan fisik.

 

Namun, dia menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah melakukan kekerasan dalam bentuk kontak fisik terhadap peserta.

 

"Untuk push up, sit up, dan yang lainnya itu merupakan aktifitas untuk menjaga stamina apalagi kegiatan tersebut memang berada di alam, jadi bukan sekedar dihukum," kata Fadilah.

 

"Kemudian untuk isu yang long march itu sebenarnya efektifnya bukan 15 jam, karena di situ ada istirahat makan, solat, jadi efektifnya itu paling cuma 5-6 jam," imbuhnya.

 

Terkait orangtua almarhum Pratama yang melapor ke kepolisian, Fadilah mengaku pihak Mahepel siap mengikuti proses sesuai ketentuan yang berlaku.

 

Lebih lanjut, pihak Mahepel didampingi kuasa hukumnya menyampaikan rasa duka mendalam atas wafatnya Saudara Pratama.(*)