Bolehkah Menambahkan Nama Suami di Belakang Nama Istri? Ini Pandangan Islam dan Budaya Indonesia
- Istimewa
Bandar Lampung, Lampung – Di tengah perubahan sosial dan budaya yang terus berkembang, praktik menambahkan nama suami di belakang nama istri menjadi fenomena yang jamak ditemui di masyarakat Indonesia.
Namun, bagaimana Islam memandang kebiasaan ini? Apakah menyalahi syariat, atau justru bisa diterima sebagai bagian dari tradisi?
Tradisi yang Akrab di Masyarakat
Di berbagai daerah di Indonesia, tidak jarang kita mendengar nama-nama seperti “Siti Wawan” atau “Ibu Munir”—sebuah penyebutan yang merujuk pada identitas istri melalui nama suaminya.
Umumnya, hal ini dilakukan untuk memudahkan pengenalan di lingkungan sosial, terutama ketika seorang istri tinggal di tempat baru.
Namun, meskipun akrab secara budaya, muncul pertanyaan: Apakah praktik ini sesuai dengan ajaran Islam?
Fatwa Muhammadiyah: Dibolehkan Selama Tidak Mengubah Nasab
Dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 1 (cet. ke-10, 2020), Tim Fatwa Muhammadiyah menegaskan bahwa tidak ditemukan larangan eksplisit dalam hadis terkait penambahan nama suami di belakang nama istri.
Praktik ini dinilai sebagai bagian dari ‘urf (kebiasaan masyarakat) yang dibolehkan selama tidak mengandung makna negatif dan tidak mengubah identitas nasab.
Misalnya, penambahan nama “Aminah Abdurrahim” untuk istri dari Abdurrahim masih dianggap wajar, selama tidak menggunakan bentuk “binti Abdurrahim” yang dapat menimbulkan kesalahpahaman tentang garis keturunan.
Dalil Al-Qur’an tentang Penjagaan Nasab
Islam sangat menekankan pentingnya menjaga nasab (garis keturunan). Hal ini ditegaskan dalam Surah Al-Ahzab ayat 5:
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ ۚ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ ۚ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ ۙ وَلَٰكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Panggillah mereka (anak-anak angkat) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah…” (QS. Al-Ahzab: 5)
Ayat ini turun sebagai koreksi atas kebiasaan di masa Jahiliyah yang menisbatkan anak angkat kepada ayah angkatnya, seperti dalam kasus Zaid bin Haritsah yang dipanggil “Zaid bin Muhammad”. Islam meluruskan bahwa nasab harus sesuai dengan garis keturunan biologis.
Namun, dalam konteks penambahan nama suami di belakang nama istri, praktik ini di Indonesia tidak dimaksudkan untuk mengubah nasab atau identitas hukum. Sebutan seperti “Bu Wawan” bersifat sosial, bukan administratif.
Perspektif Ulama Internasional
Pandangan ulama di luar Indonesia pun beragam. Ulama di Arab Saudi, misalnya, melarang penambahan nama suami karena penamaan di sana selalu disertai “bin” atau “binti”, yang menunjukkan garis keturunan.
Mereka mengacu pada hadis Nabi Muhammad SAW tentang pentingnya menjaga identitas nasab secara benar, seperti dalam hadis riwayat Al-Bukhari tentang “Fatimah binti Muhammad”.
Hal ini diperkuat oleh hadis dalam Shahih al-Bukhari:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ قُرَيْشًا أَهَمَّهُمْ شَأْنُ الْمَرْأَةِ الْمَخْزُومِيَّةِ الَّتِي سَرَقَتْ ... وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
"Dari 'Aisyah r.a., bahwa orang-orang Quraisy menghadapi masalah tentang seorang wanita suku Makhzumiyyah yang mencuri... Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya." [H.R. al-Bukhari, 3216]
Sebaliknya, ulama di Mesir lebih fleksibel. Mereka memperbolehkan penambahan nama suami selama tidak merubah dokumen resmi atau menyalahi nasab, dan hanya dipakai dalam konteks sosial atau administratif non-hukum.
Realitas Sosial di Indonesia
Di Indonesia, praktik ini sering dimaknai sebagai cara praktis mengenali seseorang, bukan sebagai bentuk pergantian identitas.
Bahkan, penambahan nama bisa terjadi karena profesi, seperti “Bu Siti Dokter” untuk membedakan dari “Bu Siti Guru”.
Dokumen resmi seperti KTP, KK, dan akta tetap mencantumkan nama asli dan nama ayah kandung, sehingga tidak ada perubahan nasab secara hukum atau agama.
Kesimpulan: Dibolehkan Selama Tidak Menyalahi Syariat
Penambahan nama suami di belakang nama istri di Indonesia merupakan bagian dari budaya lokal yang dibolehkan dalam Islam selama tidak bertujuan mengubah nasab atau menyesatkan identitas.
Ini sejalan dengan kaidah fiqih: “Al-‘adatu muhakkamatun”—adat atau kebiasaan dapat dijadikan dasar hukum jika tidak bertentangan dengan syariat.
Islam adalah agama yang fleksibel dan dapat berdialog dengan budaya selama prinsip dasarnya tetap dijaga.
Maka, penyebutan seperti “Ibu Munir” atau “Siti Wawan” bisa diterima sebagai bagian dari tradisi sosial masyarakat Indonesia yang sarat nilai kemudahan dan penghormatan. (*)
Sumber : https://muhammadiyah.or.id/2025/05/penambahan-nama-suami-di-belakang-nama-istri-bolehkah/