Warisan Sejarah: Belajar dari Buya Hamka

Warisan Sejarah: Belajar dari Buya Hamka
Sumber :
  • Tangkapan Layar Youtube Mata Najwa

VIVA Lampung, Pendidikan – Diskusi antara Najwa Shihab dan pemain film Buya Hamka, dalam acara Gala Premiere Buya Hamka, mengenalkan kembali sosok Buya Hamka, seorang Ulama ternama dari Indonesia. Diskusi ini ditayangkan pada akun Youtube Najwa Shihab pada Jumat (14/4) pukul 19:00 Wib.

Mba Nana, sapaan Najwa Shihab, membawakan narasi yang menjadi awalan dalam proses diskusi tersebut. Najwa Shihab juga mengajak para aktor dan sutradara di balik produksi film Buya Hamka, keluarga Buya Hamka, dan tokoh Muslim serta penulis buku Buya Hamka untuk berbincang tentang sosok sastrawan, pemuka agama, dan guru kita semua. 

Menurut Andung, sapaan Hj. Azizah Haumka, putri ke 4 Buya, menuturkan bahwa Buya memiliki cara berbicara pada anak perempuan dan anak laki-laki yang berbeda.

"kalau manggil anak perempuan lebih lembut", "kalau laki-laki biasa aja". tutur Andung.

Andung meneruskan bahwa, umi (Siti Raham), itu baik banget, ketika sholat jumat, jamaah berdatangan kerumah, dan dijamu harus makan. Terlebih lagi, saat tiba waktu puasa, pasti ada jamuan kepada jamaah, kuali besar-besar dirumah sudah disiapkan.

"makanan kesukaan buya dan para jamaah masjid adalah gulai kambing, kesukaan semua jamaah bersama buya" jelas Andung.

Belajar Dari Buya Hamka

Buya Hamka, atau nama lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah, adalah seorang ulama terkemuka yang dikenal luas di Indonesia. Ia lahir pada tanggal 17 Februari 1908 di Tanjung Batu, Agam, Sumatera Barat dan meninggal pada tanggal 24 Juli 1981 di Jakarta.

Buya Hamka dikenal sebagai seorang intelektual yang produktif dan multidimensi. Ia tidak hanya menjadi seorang ulama dan tokoh agama, namun juga menjadi penulis, sastrawan, sejarawan, dan politisi. Buya Hamka memiliki karya-karya yang sangat luas dan beragam, seperti novel, puisi, cerpen, sejarah, tafsir, dan lain sebagainya.

Salah satu karya terbesar dari Buya Hamka adalah tafsir al-Qur'an yang berjudul Tafsir Al-Azhar. Tafsir ini menjadi salah satu karya monumental dalam sejarah keilmuan Islam di Indonesia. Tafsir Al-Azhar yang merupakan hasil karya seumur hidup itu dikenal sebagai tafsir yang mudah dipahami dan bermanfaat bagi umat Islam.

Selain Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka juga menulis banyak buku lainnya, seperti Ayahku (novel), Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (novel), Di Bawah Lindungan Ka'bah (novel), dan Sejarah Umat Islam (sejarah). Karya-karya tersebut tidak hanya menjadi bacaan wajib di kalangan umat Islam, namun juga dijadikan sebagai bahan bacaan di kalangan akademisi dan penggiat sastra.

Pada tahun 1952, Buya Hamka memutuskan untuk terjun ke dunia politik dengan bergabung dalam Partai Masyumi. Ia pernah melamar sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Majelis Syuro Partai Masyumi. Namun, pada saat terjadi peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965, Buya Hamka ditangkap dan dipenjara oleh pemerintah Orde Baru karena terlibat dalam gerakan PKI.

Meskipun dipenjara selama 11 bulan, semangat Buya Hamka tidak pudar. Ia tetap produktif dalam menulis dan berdakwah di dalam penjara. Apalagi beberapa bukunya seperti Dari Perbendaharaan Lama dan Dari Perbendaharaan Baru ditulisnya ketika ia berada di dalam penjara.

Selain menjadi ulama dan penulis produktif, Buya Hamka juga dikenal sebagai seorang yang sangat mencintai bahasa dan sastra. Ia pernah menjadi Ketua Dewan Bahasa dan Pustaka dan juga Ketua Persatuan Penulis Indonesia.

Kesimpulannya, Buya Hamka adalah sosok ulama, penulis, dan intelektual yang sangat berpengaruh dalam sejarah keilmuan Islam di Indonesia. Karya-karyanya yang luas dan multidimensi telah memberikan kontribusi besar dalam memajukan ilmu pengetahuan dan sastra di Indonesia. Semangat juangnya yang tinggi dan cinta yang mendalam terhadap agama, bangsa, dan negara, membuat Buya Hamka harum namanya sepanjang masa.