Perang Dzaturriqa’: Ekspedisi Berat yang Menjadi Simbol Keteguhan dan Kesiapsiagaan Kaum Muslimin

- Istimewa
Bandar Lampung, Lampung – Perang Dzaturriqa’ merupakan salah satu ekspedisi militer penting yang dipimpin langsung oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Peristiwa ini terjadi setelah kemenangan besar dalam Perang Khaibar, tepatnya pada tahun ke-7 Hijriyah.
Meskipun tidak terjadi pertempuran terbuka berskala besar, ekspedisi ini tetap meninggalkan kesan mendalam dalam sejarah perjuangan umat Islam.
Nama Dzaturriqa’ berasal dari kata riqa’ yang berarti “balutan” atau “tambalan”. Nama ini menggambarkan kondisi fisik pasukan muslimin saat itu, di mana banyak sahabat mengalami luka pada kaki mereka akibat perjalanan panjang dan berat, sehingga harus membalutnya dengan kain perban.
Hal ini menunjukkan betapa beratnya medan tempur dan kondisi yang mereka hadapi dalam misi tersebut.
Menghadapi Ancaman Suku Ghathafan
Tujuan utama ekspedisi ini adalah untuk menghadapi potensi serangan dari suku Ghathafan, salah satu kabilah Arab yang dikenal kuat dan berasal dari keturunan Qais ‘Ailan, bagian dari suku Mudlar.
Suku ini sebelumnya telah berperan dalam konflik besar seperti Perang Khandaq dan Pengepungan Khaibar, serta memiliki hubungan dekat dengan Kekaisaran Romawi Timur.
Sebelum memeluk Islam, suku ini merupakan penyembah berhala Al-‘Uzza dan menjadi salah satu musuh utama kaum muslimin.
Meski tidak terjadi pertempuran besar dalam ekspedisi ini, kehadiran pasukan Rasulullah di wilayah strategis tersebut membuat pasukan Ghathafan mengurungkan niatnya untuk menyerang.
Kaum muslimin pun kembali ke Madinah dengan membawa kemenangan moral dan pesan kuat bahwa mereka selalu siap siaga menjaga wilayah Islam dari berbagai ancaman.
Dikuatkan oleh Sumber Sejarah Terkemuka
Banyak ulama dan pengamat sejarah, seperti Al-Bukhari, Ibnul Qayyim, dan Ibnu Hajar, meyakini bahwa Perang Dzaturriqa’ terjadi setelah Perang Khaibar.
Hal ini didukung oleh fakta bahwa sahabat-sahabat seperti Abu Musa Al-Asy’ari dan Abu Hurairah ikut dalam perang tersebut, padahal mereka baru masuk Islam setelah Khaibar.
Kisah Shalat Khauf dan Keberanian Nabi
Salah satu peristiwa penting dalam perang ini adalah shalat khauf (shalat dalam kondisi peperangan), yang dilakukan oleh Rasulullah bersama para sahabat.
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan bahwa shalat ini dilaksanakan dalam Perang Dzaturriqa’, sebagai bentuk kesiapsiagaan spiritual sekaligus strategi militer.
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma, saat pasukan beristirahat di bawah pohon rindang, seorang musyrik bernama Ghawarts bin Al-Harits mencoba menyerang Nabi yang saat itu bersandar dan menggantungkan pedangnya di pohon.
Sang musuh mengangkat pedang dan bertanya, “Siapa yang akan melindungimu dari aku hari ini?” Rasulullah menjawab, “Allah!” Seketika itu pula, tangan si musuh gemetar hingga pedangnya terjatuh, dan para sahabat segera menangkapnya.
Kisah Pengorbanan di Malam Hari
Salah satu kisah paling menyentuh dari perang ini adalah penjagaan malam oleh Abbad bin Bisyr dan Ammar bin Yasir.
Saat mendapat giliran berjaga, Abbad mengisi waktunya dengan shalat malam. Tiba-tiba, seorang musuh menyelinap dan memanahnya.
Meskipun tubuhnya tertembus anak panah beberapa kali, ia tetap melanjutkan shalatnya hingga selesai, baru kemudian membangunkan rekannya.
Ketika Ammar bertanya mengapa ia tidak langsung dibangunkan, Abbad menjawab, “Aku sedang membaca surat Al-Qur’an dan tidak ingin memutuskannya. Seandainya aku tidak bertanggung jawab terhadap tugas penjagaan Rasulullah, niscaya aku tidak akan berhenti meskipun harus mengorbankan nyawaku.”
Kisah ini menunjukkan betapa tingginya kecintaan sahabat terhadap Al-Qur’an dan amanah Rasulullah.
Kisah Unta Jabir dan Keteladanan Rasulullah
Dalam ekspedisi ini juga tercatat kisah indah antara Nabi dan sahabatnya, Jabir bin Abdullah. Unta Jabir tertinggal dari rombongan karena lambat.
Rasulullah menanyainya, kemudian membantu mempercepat unta tersebut hingga lajunya hampir menyamai kecepatan unta beliau.
Rasulullah bahkan membeli unta tersebut dan tetap membayar harganya secara penuh ketika tiba di Madinah, meskipun Jabir berniat memberikannya sebagai hadiah. Ini menunjukkan sifat adil dan penyayang Nabi terhadap para sahabatnya.
Penutup
Perang Dzaturriqa’ memang tidak menampilkan pertempuran besar yang dikenang karena jumlah korban atau kemenangan militer spektakuler.
Namun, ia menjadi simbol penting dari keteguhan, kesiapsiagaan, pengorbanan, dan spiritualitas kaum muslimin dalam menghadapi tantangan.
Melalui ekspedisi ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali menunjukkan bahwa jihad bukan semata-mata soal senjata, tetapi juga tentang keberanian, kesabaran, strategi, dan keyakinan penuh kepada perlindungan Allah. (*)
Referensi:
Az-Zaid, Z. b. ‘A. K. (1437 H). Fiqh as-Sirah (Cet. ke-10). Dar At-Tadmuriyyah.
https://rumaysho.com/39963-perang-dzaturriqa-strategi-nabi-muhammad-menghadapi-ghathafan.html