Aktivis GERMASI Temukan Dugaan Penerbitan SHM di Kawasan Hutan TNBBS Lampung Barat, Langgar Aturan?

Founder Masyarakat Independent GERMASI, Ridwan Maulana.
Sumber :
  • Istimewa

Lampung Barat, Lampung – Polemik seputar relokasi perambah hutan dan penarikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kawasan Hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) belum selesai, kini muncul temuan baru yang mengejutkan. 

 

Aktivis dari Masyarakat Independent GERMASI kembali menemukan dugaan penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) di atas tanah kawasan Hutan TNBBS dan Hutan Lindung di Kabupaten Lampung Barat, yang berpotensi melanggar aturan yang berlaku.

 

Founder Masyarakat Independent GERMASI, Ridwan Maulana, CPL.CDRA, mengungkapkan bahwa temuan ini menambah panjang daftar permasalahan tata kelola hutan di wilayah tersebut. 

 

"Kami menemukan bukti yang menunjukkan adanya penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) di atas tanah kawasan hutan yang seharusnya dilindungi. Ini jelas bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada," ujar Ridwan.

 

Ridwan menjelaskan bahwa dugaan ini bermula dari temuan adanya penarikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di bidang tanah yang terletak di kawasan Hutan TNBBS. 

 

Fakta ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada oknum yang berupaya melegalkan kepemilikan lahan di dalam kawasan hutan. 

 

"Berdasarkan hasil penghimpunan informasi dan investigasi yang kami lakukan, serta keterangan dari beberapa pihak, kami menemukan bukti adanya penerbitan ratusan sertifikat di kawasan hutan yang seharusnya dilindungi," tambahnya.

 

Menurut Ridwan, larangan penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) di kawasan hutan jelas diatur dalam berbagai peraturan, antara lain:

 

UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa "Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah."

 

Pasal 50 ayat (2) yang melarang setiap orang untuk menguasai dan memiliki kawasan hutan secara tidak sah.

 

UU Cipta Kerja Pasal 36 angka 1, yang mengubah ketentuan Pasal 50 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang dapat dipidana dengan penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp7,5 miliar.

 

UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Pasal 16 ayat (1) yang menyatakan bahwa "Hak Milik dapat diberikan atas tanah yang bukan merupakan hutan negara."

 

Ridwan juga menekankan bahwa jika ada pihak yang ingin memperoleh hak atas tanah yang berada di kawasan hutan, harus terlebih dahulu melalui prosedur pelepasan status kawasan hutan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL). 

 

"Prosedur ini harus diajukan ke Kementerian Kehutanan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan," jelas Ridwan.

 

Menurutnya, jika prosedur pelepasan kawasan hutan menjadi APL dilakukan, maka kawasan tersebut bisa dikeluarkan dari status kawasan hutan dan baru dapat diberikan hak atas tanah melalui Kementerian ATR/BPN. 

 

Namun, Ridwan menilai bahwa penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang terdata di kawasan hutan tersebut diduga tidak didukung oleh dokumen yang sah.

 

Temuan ini, menurut Ridwan, berpotensi merugikan perekonomian negara karena hilangnya aset negara berupa tanah di kawasan hutan yang beralih status menjadi hak milik individu. 

 

"Jika dibiarkan, hal ini dapat merugikan negara dan merusak ekosistem hutan yang harus dilindungi," ujar Ridwan.

 

Berdasarkan temuan tersebut, Masyarakat Independent GERMASI menduga adanya pelanggaran dalam penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) di kawasan hutan, yang melibatkan sejumlah indikasi, antara lain:

 

1. Dugaan pelanggaran dalam penerbitan sertifikat SHM di kawasan hutan.

2. Dugaan penggunaan dokumen palsu dalam pengajuan sertifikat.

3. Dugaan adanya informasi yang tidak benar dalam dokumen kepemilikan lahan.

4. Dugaan keterlibatan pejabat berwenang dalam menerbitkan sertifikat yang tidak sesuai prosedur.

5. Dugaan pemalsuan dokumen untuk memperoleh keuntungan secara ilegal.

 

Aktivis Masyarakat Independent GERMASI mendesak agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Aparat Penegak Hukum (APH), khususnya Kejaksaan Agung RI melalui Satgas Bidang Mafia Tanah, segera mengusut tuntas dugaan penyimpangan ini. 

 

"Kami meminta agar pihak berwenang segera mencabut sertifikat yang terbit di kawasan hutan dan menindak tegas pihak-pihak yang terlibat," tegas Ridwan.

 

GERMASI berharap agar pengawasan tata kelola hutan di Lampung Barat semakin diperketat, khususnya di kawasan konservasi seperti TNBBS dan Hutan Lindung, demi menjaga keberlanjutan ekosistem dan keanekaragaman hayati. (*)