Keindahan Trotoar Keramik di Bandar Lampung, Ketidakadilan Bagi Penyandang Difabilitas
- Foto Dokumentasi Riduan
Lampung – Trotoar berlapis keramik di Bandar Lampung yang awalnya diharapkan menjadi ikon estetika kota kini menuai kritik tajam, terutama dari perspektif inklusi kaum difabel.
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Lampung, Erwin Octavianto, menyoroti berbagai kelemahan desain trotoar ini yang dinilai jauh dari ramah bagi penyandang disabilitas.
Dalam wawancara pada Jumat (10/1/2025), Erwin menyebut trotoar yang dibangun pada 2012 dan diperbaiki pada 2015 ini tidak memenuhi standar infrastruktur publik, terutama bagi kaum tunanetra dan difabel lainnya.
Masalah Desain yang Mengabaikan Difabel
Erwin menjelaskan bahwa trotoar yang baik seharusnya dirancang untuk semua kalangan, termasuk penyandang disabilitas.
Namun, desain trotoar di Bandar Lampung ini justru mengesampingkan aspek penting tersebut.
"Trotoar untuk tunanetra seharusnya memiliki tekstur yang jelas sebagai panduan, bukan sekadar warna yang tidak dapat mereka lihat. Ironisnya, trotoar ini hanya mengutamakan estetika tanpa mempertimbangkan kebutuhan dasar difabel," ujar Erwin.
Ia menambahkan bahwa tekstur panduan, seperti jalur kuning bertekstur, adalah elemen wajib yang harus ada di trotoar inklusif. Sayangnya, hal ini tidak ditemukan di trotoar Bandar Lampung, sehingga menyulitkan kaum difabel untuk berjalan dengan aman.
Keramik Licin yang Menambah Risiko
Selain masalah desain, pemilihan material keramik glossy juga mendapat kritik tajam. Material ini dinilai sangat licin saat basah, sehingga membahayakan semua pengguna, termasuk kaum difabel yang memerlukan permukaan lebih stabil dan aman.
"Ketika hujan, trotoar ini menjadi perangkap. Apalagi bagi tunanetra yang mengandalkan tongkat mereka, risiko terpeleset menjadi lebih besar," tegas Erwin.
Difabel Terpinggirkan di Trotoar yang Beralih Fungsi
Lebih jauh lagi, banyak trotoar di Bandar Lampung telah berubah fungsi menjadi tempat usaha atau lahan parkir. Hal ini semakin mempersempit ruang bagi kaum difabel, yang sudah menghadapi tantangan besar akibat desain dan material yang tidak ramah.
"Ini mencerminkan kurangnya pemahaman pemerintah tentang pentingnya trotoar sebagai ruang publik inklusif. Trotoar bukan hanya soal akses fisik, tetapi juga simbol kesetaraan hak bagi semua warga, termasuk difabel," tambah Erwin.
Dukungan dari Komunitas dan Harapan untuk Perbaikan
Kritik terhadap trotoar Bandar Lampung juga datang dari berbagai pihak, termasuk komedian Abdur Arsyad, yang membahasnya dalam Podcast SkakMat. Abdur menyoroti ketidaksesuaian material dan desain trotoar ini untuk tunanetra.
"Orang buta tidak melihat warna, mereka merasakan tekstur. Kalau tekstur tidak ada, bagaimana mereka bisa berjalan dengan aman?" kata Abdur.
Pandji Pragiwaksono, yang menjadi rekan bicara dalam podcast tersebut, menambahkan bahwa desain seperti ini tidak ditemukan di kota lain di Indonesia, menyoroti keunikan yang kurang positif.
Harapan Baru untuk Trotoar Inklusif
Erwin menegaskan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap proyek infrastruktur publik agar lebih ramah bagi penyandang disabilitas.
Pemerintah daerah diharapkan dapat memperhatikan kebutuhan difabel dalam setiap tahap perencanaan pembangunan.
"Trotoar bukan hanya soal estetika. Ini adalah ruang publik yang harus bisa digunakan oleh semua orang, tanpa terkecuali. Pemerintah perlu memastikan desain dan material yang digunakan memenuhi prinsip inklusivitas," pungkasnya. (*)