Pelanggaran Harga dan Rafaksi Singkong Masih Marak, Petani Lampung Merugi Hingga Ratusan Ribu per Ton

- Foto Dokumentasi Istimewa
Bandar Lampung, Lampung – Meskipun Pemerintah Provinsi Lampung telah menetapkan harga dasar pembelian singkong sebesar Rp1.350 per kilogram dengan potongan rafaksi maksimal 30 persen melalui Instruksi Gubernur Nomor 2 Tahun 2025, praktik di lapangan masih jauh dari harapan.
Pelanggaran harga dan potongan berlebih terus terjadi di berbagai sentra produksi, membuat petani mengalami kerugian signifikan.
Petani dari wilayah Lampung Tengah, Tulang Bawang, Lampung Utara, hingga Mesuji melaporkan bahwa harga jual singkong di tingkat lapak hanya berkisar antara Rp900 hingga Rp1.100 per kilogram, dengan potongan rafaksi yang mencapai 35 hingga 43 persen.
Setelah dikalkulasi, petani hanya menerima bersih sekitar Rp800 per kilogramnyaris setara dengan biaya produksi.
"Kalau dihitung bersih, kami cuma dapat Rp800 per kilo. Biaya produksi saja sudah lebih dari Rp700," ungkap Sugeng, petani dari Kecamatan Rumbia, Lampung Tengah, dalam sebuah unggahan yang viral di media sosial pada Rabu (18/6/2025).
Beberapa nota timbang yang diperoleh menunjukkan indikasi pelanggaran oleh lapak mitra pabrik. Di Rawajitu Timur, petani Agus hanya menerima Rp4,6 juta dari penjualan 7,5 ton singkong, setelah terkena potongan rafaksi 33 persen serta biaya angkut dan cabut.
Hal serupa terjadi di Tulang Bawang, di mana PT Teguh Wibawa Bhakti Persada memberikan potongan hingga 43 persen atas 12,9 ton singkong, dengan harga bersih hanya Rp769 per kilogram.
Di sisi lain, PT Bumi Sukses Sejahtera Wibawa (BSSW) memang membayar sesuai harga dasar Rp1.350, tetapi tetap menerapkan potongan rafaksi 32 persen, membuat petani hanya menerima sekitar Rp7,6 juta dari total 8,3 ton singkong yang dijual.
Kekecewaan petani semakin besar terhadap lapak-lapak pengumpul yang disebut terafiliasi dengan Pabrik Muara Jaya di Lampung Timur, yang tersebar luas di berbagai wilayah namun justru kerap menjalankan sistem timbang dan potongan tidak transparan.
"Pabrik catat harga bagus di nota, tapi kenyataannya sistem timbang yang dimanipulasi. Ini bukan cuma soal kadar pati, tapi soal sistem yang dibiarkan liar," kata seorang petani asal Mesuji.
Sementara itu, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Lampung menyatakan telah melakukan pengawasan rutin. Namun, keterbatasan personel membuat pengawasan tidak maksimal, dan hingga pertengahan Juni belum ada sanksi tegas terhadap para pelanggar meskipun laporan terbuka dari petani terus bermunculan.
Ketua Panitia Khusus (Pansus) Tata Niaga Singkong DPRD Lampung, Mikdar Ilyas, kembali mendorong pemerintah pusat untuk menetapkan harga dasar dan standar mutu singkong secara nasional.
"Harga tak boleh lagi dimainkan lapak. Harus ada Perpres sebagai dasar hukum perlindungan petani secara menyeluruh," tegasnya.
Sebelumnya, Pemprov Lampung juga telah mengeluarkan surat edaran tertanggal 5 Mei 2025 yang melarang pengukuran berbasis kadar pati dan menegaskan transparansi sistem potong. Namun, penerapan di lapangan dinilai masih sangat lemah.
Para petani kini menuntut tindakan nyata dari pemerintah dan aparat penegak hukum. Mereka mendesak verifikasi menyeluruh terhadap sistem timbang dan nota transaksi oleh Dinas Perdagangan, Dinas Perkebunan, serta aparat penegak hukum.
"Petani jangan terus jadi korban. Kami menuntut keadilan harga dan kepastian usaha," tegas Sugeng, mewakili suara petani Lampung Tengah yang tengah menggalang audiensi lanjutan ke DPRD Provinsi.(*)